Minggu, 03 Agustus 2014

Komunikasi Dalam Hubungan Masyarakat

0 komentar
Proses komunikasi pada prinsipnya meliputi pengiriman dan penerimaan pesan-pesan di antara dua orang, kelompok kecil masyarakat, atau dalam satu lingkungan atau lebih dengan tujuan untuk mempengaruhi perilaku dalam suatu masyarakat. Dengan bahasa yang lebih sederhana, proses komunikasi dapat diartikan sebagai “transfer informasi” atau pesan-pesan (messages) dari pengirim pesan sebagai komunikator dan kepada penerima pesan sebagai komunikan, dalam proses komunikasi tersebut bertujuan (feedback)  untuk mencapai saling pengertian (mutual understanding) antara kedua belah pihak.

Komunikasi ditinjau pada lima unsur utama (bauran komunikasi) yang disampaikan pada teori komunikasi Lasswell yaitu; who says what in which channel to whom and with what effect. Teori tersebut sebetulnya terkandung formulasi yang sama seperti yang dinyatakan oleh Everett M. Roger dan W. Floyd Shoemaker, dalam bukunya berjudul Communication of Innovation. New York: Free Press (1971), yaitu: “A common model of communication is that source, message, channel, receiver, and effect” yang dikenal dengan model proses komunikasi dengan formula S-M-C-R-E, (Ruslan, 2006:101) yaitu:


Model Proses Komunikasi S-M-C-R-E

Model komunikasi S-M-C-R-E di atas dapat dijabarkan sebagai berikut:
  • Source, yaitu individu atau pejabat humas yang berinisiatif sebagai sumber atau untuk menyampaikan pesan
  • Message, adalah suatu gagasan, ide berupa pesan, informasi, pengetahuan, ajakan, bujukan atau ungkapan yang akan disampaikan komunikator kepada komunikan (Ruslan, 2006:71). Onong Uchjana Effendi (1993) menuliskan bahwa pesan adalah lambang bermakna (meaningful symbols) yakni lambang yang membawakan pikiran atau perasaan komunikator.
  • Receiver, merupakan pihak yang menerima pesan dari komunikator. Receiver seringkali disebut sebagai komunikan.
  • Channel, berupa media, sarana, atau saluran yang dipergunakan oleh komunikator alam mekanisme penyampaian pesan-pesan kepada khalayaknya (Ruslan, 2006:71). Definisi lain menuliskan bahwa channel adalah sarana untuk menyalurkan pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Media digunakan dalam komunikasi apabila komunikan berada di tempat yang jauh dari komunikator atau jika jumlah komunikan banyak (Effendy, 1993:14).
  • Effect, suatu dampak yang terjadi dalam proses penyampaian pesan-pesan tersebut, yang dapat berakibat positif maupun negatif menyangkut tanggapan, persepsi, dan opini dari hasil komunikasi tersebut (Ruslan, 2006:71). Melengkapi pengertian efek, Onong juga menjelaskan bahwa efek adalah tanggapan, respon atau reaksi dari komunikan ketika menerima pesan dari komunikator. Jadi, efek adalah akibat dari proses komunikasi. Efek diklasifikasikan menjadi efek kognitif, efek afektif, dan efek konasi (behaviour). (Effendy, 1993:14)

Dalam kaitannya kegiatan komunikasi, public relations menjalankan komunikasi dengan tujuan untuk menciptakan sebuah efek, yaitu berupa citra perusahaan (corporate image). Menyelenggarakan komunikasi untuk membentuk citra korporasi atau organisasi di mata pihak luar dimaksudkan untuk menumbuhkan saling pengertian di antara korporasi atau organisasi dan pihak luar itu. Bagi korporasi, pihak luar yang dimaksudkan adalah masyarakat, baik sebagai konsumen, pemasok, agen, atau rekanan korporasi. Saling pengertian antara korporasi atau organisasi dan masyarakat, berkembang melalui hubungan baik antara keduanya. Adapun hubungan baik ini terjadi apabila terselenggara komunikasi yang baik pula (public relationship). Dari situlah terbentuk citra korporasi atau organisasi (corporate image) di mata pihak luar. (Siregar, 2000:42)

Hal ini tentunya sesuai dengan definisi PR berdasarkan tujuan kegiatannya, yang dirumuskan oleh seorang praktisi Public Relations, Dr. Carter McNamara (Iriantara, 2005:9) yaitu humas sebagai aktivitas berkelanjutan untuk menjamin perusahaan memiliki citra yang kuat di mata publik. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya PR merupakan proses komunikasi kepada publik untuk menjalin relasi yang baik sehingga tercapai tujuan untuk membangun, membina, dan menjaga citra yang positif atau reputasi baik. Definisi yang serupa juga dituliskan pada kamus IPR terbitan bulan November 1987 yang mendefinisikan praktek humas atau PR adalah keseluruhan upaya yang dilangsungkan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan dan memelihara niat baik dan saling pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya. (Jefkins, 1998:17)

Pengertian lain tentang public relations menyatakan bahwa PR adalah suatu rangkaian kegiatan yang diorganisasikan sebagai suatu rangkaian kampanye atau program terpadu, dan semuanya itu berlangsung secara berkesinambungan dan teratur, jadi PR sama sekali bukanlah kegiatan yang sifatnya sembarangan atau dadakan. PR juga memiliki tujuan utama untuk memastikan bahwa organisasi tersebut senantiasa dimengerti oleh pihak-pihak lain yang turut berkepentingan atau publiknya (Jefkins, 1998:17). Publik pada pengertian ini yaitu sekelompok orang yang mempunyai minat dan perhatian yang sama terhadap sesuatu hal. (Yulianita, 2005:17)

Public relations senantiasa berkenaan dengan kegiatan penciptaan pemahaman melalui pengetahuan, dan melalui kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan akan muncul suatu dampak, yakni berupa perubahan yang positif. Dengan demikian, humas adalah suatu bentuk komunikasi yang berlaku terhadap semua jenis organisasi, pemerintah, maupun swasta. (Anggoro, 2005:27)

Dalam kehidupan masyarakat sekarang ini, kegiatan public relations merupakan kebutuhan. Public relations akan terus berkembang sesuai dan sejalan dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan public relations itu berlangsung bersama dengan adanya hubungan-hubungan dalam masyarakat yang lebih pada namun bersifat impersonal dan lebih banyak pembagian dan terkotak-kotaknya karena macam-macam kepentingan. (Setyodarmodjo, 2003:13)

Dengan perbedaan kepentingan tersebut, Rosady Ruslan membagi peran PR bersifat dua arah, yaitu membina hubungan ke dalam (publik internal) dan membina hubungan ke luar (publik eksternal). Beberapa kegiatan dan sasaran PR sebagai pendukung fungsi manajemen perusahaan, yaitu: (Ruslan, 2006:21)
  • Building corporate identity dan image (membangun identitas dan citra perusahaan) sebagai pendukung manajemen perusahaan, PR memiliki sasaran yaitu dengan menciptakan identitas dan citra perusahaan yang positif serta mendukung kegiatan komunikasi timbal balik dua arah dengan berbagai pihak.
  •  Facing crisis (menghadapi krisis). Menghadapi krisis merupakan bagian dari kehidupan PR yaitu dengan menangani komplain, membentuk manajemen krisis dan PR recovery image, serta memperbaiki image.


Mengutip definisi PR dari Scott Cutlip dan Allan Center, definisi PR adalah upaya terencana guna memengaruhi opini publik melalui karakter yang baik dan kinerja yang bertanggung jawab, yang didasarkan pada komunikasi dua arah yang memuaskan kedua belah pihak (Iriantara, 2005:9). Komunikasi yang dijalankan oleh public relations merupakan komunikasi yang bersifat timbal balik (two way communications) sebab tujuan dari public relations adalah menciptakan dan meningkatkan citra yang baik dari organisasi kepada publik-publik yang berkepentingan. (Yulianita, 2005:41)

Dalam  keterkaitannya  dengan  pembangun  citra,  Public  Relations merupakan salah satu fungsi manajemen modern yang mempunyai fungsi melekat pada manajemen perusahaan (corporate management function), yakni bagaimana berperan dalam melakukan komunikasi timbal balik (two ways communications) untuk  tujuan  menciptakan  saling  pengertian (mutual  understanding), saling menghargai (mutual appreciation), saling mempercayai (mutual confidence), menciptakan goodwill,  memperoleh dukungan publik (public support) dan sebagainya demi tercapainya citra yang positif bagi suatu lembaga/perusahaan (corporate image). Jadi, komunikasi dua arah yang dilakukan oleh perusahaan terhadap publiknya guna menciptakan citra yang positif bagi perusahaan itu sendiri. (Ruslan, 2006:21)

Dalam melakukan komunikasi dua arah dengan publik, terutama publik eksternal, public relations membutuhkan kualitas komunikasi. Kualitas public relations dengan pihak luar ditentukan kualitas komunikasi eksternal. Komunikasi ekternal yang baik akan membentuk public relationship yang baik terhadap pihak di luar korporasi atau organisasi, yang selanjutnya akan membentuk citra positif atas korporasi  atau  organisasi (corporate  image, organizational  image).

Berhubungan  dengan  komunikasi  public  relations  tersebut,  menurut Cultip, Center dan Broom, dalam komunikasi public relations itu ada 7 faktor penting yang disebut sebagai “the seven C’s of communication” (Ruslan, 2007:122), yaitu:
  • Kredibilitas. Komunikasi itu dimulai dari suasana saling percaya yag diciptakan oleh pihak komunikator secara sungguh-sunghuh untuk melayani publiknya yang memiliki keyakinan dan respek. 
  • Konteks. Menyangkut sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan kehidupan sosial, pesan yang haruus disampaikan dengan jelas serta sikap partisipatif. Komunikasi efektif diperlukan untuk mendukung lingkungan sosial melalui pemberitaan di berbagai media Massa.
  • Content (isi). Pesannya  menyangkut  kepentingan  orang  banyak/publik  sehingga informasi dapat diterima sebagai sesuatu yang bermanfaat secara umum bagi masyarakat
  • Clarity. Pesan harus disusun dengan kata-kata yang jelas, mudah dimengerti serta memiliki pemahaman yang sama antara komunikator dan komunikan dalam hal maksud, teman dan tujuan semua pihak,
  • Continuity dan consistency (kontinuitas dan konsistensi) . Komunikasi merupakan proses yang tidak pernah berakhir, oleh karena itu dilakukan secara berulang-ulang dengan berbagai variasi pesan. Dengan cara demikian untuk mempermudah proses belajar, membujuk dan tema dari pesan-psan tersebut harus konsisten.
  • Channels (saluran). Mempergunakan saluran media informasi yang tepat dan terpercaya serta dipilih oleh khalayak sebagai target sasaran. Pemakaian saluran media yang berbeda akan berbeda pula efeknya. Dengan demikian seorang PR harus dapat memahami perbedaan dan proses penyebaran informasi secara efektif.
  • Capability of the Audiens (kapabilitas khalayak). Memperhitungkan kemampuan yang dimiliki oleh khalayak. Komunikasi dapat menjadi bagi masyarakat bila berkaitan dengan berkaitan faktor-faktor yang bermanfaat seperti kebiasaan dan peningkatan kemampuan membaca dan pengembangan pengetahuan.


Read more ►

Model Kampanye Perkembangan Lima Tahap Fungsional

0 komentar
Jenis-jenis kampanye pada prinsipnya membicarakan motivasi yang melatarbelakangi diselenggarakannya sebuah program kampanye. Motivasi tersebut pada gilirannya akan menentukan ke arah mana kampanye akan di gerakkan dan apa tujuan yang akan dicapai. Charles U Larson membagi jenis kampanye ke dalam tiga kategori yakni: product-oriented campaigns, candidate-oriented campaigns dan ideologically or cause-oriented campaigns. (Venus, 2004:11)

Terlepas dari perbedaan yang ada di antara jenis kampanye di atas, dalam praktiknya ke-3 macam kampanye tersebut hampir tidak berbeda. Ketiganya dapat menggunakan strategi komunikasi yang sama untuk menjual produk atau gagasan mereka kepada khalayak. Selanjutnya untuk memahami konsep kampanye, maka perlu dilengkapi dengan pemahaman tentang model kampanye.

Model kampanye yang dibahas dalam literatur komunikasi umumnya memusatkan perhatian pada penggambaran tahapan proses kegiatan kampanye yang bertujuan agar kita dapat memahami fenomena kampanye bukan hanya dari tahapan kegiatannya, tetapi juga dari interaksi antar komponen yang terdapat di dalamnya.

Beberapa model kampanye meliputi: Model Komponensial Kampanye, Model Kampanye Ostergaard, The Five Functional Stages Development Model, The Communicative Functions Model, Model Kampanye Nowak dan Warneryd, dan The Diffusion of Innovations Model. (Venus, 2004:12-13)
Keenam model tersebut yang paling populer digunakan adalah The Five Functional Stages Development Model, model ini dikembangkan oleh tim peneliti dan praktisi kampanye di Yale University Amerika Serikat pada awal tahun 1960-an. Kepopuleran ini tidak terlepas dari fleksibilitas model untuk diterapkan, baik pada candidate oriented campaign, product oriented campaign atau cause or idea oriented campaign. Fokus model ini adalah tahapan kegiatan kampanye, bukan pada proses pertukaran pesan antara campaigner dengan campaignee. Pada model ini, digambarkan bagaimana tahapan kegiatan kampanye harus dilalui sebelumnya akhirnya kegiatan tersebut berhasil atau gagal mencapai tujuan. Tahapan kegiatan tersebut meliputi: identifikasi, legitimasi, partisipasi, penetrasi, dan distribusi.

Gambar
Model Perkembangan Lima Tahap Fungsional (Venus, 2004:18)

Tahap identifikasi merupakan tahap penciptaan identitas kampanye yang dengan mudah dapat dikenali oleh khalayak. Hal yang umum digunakan untuk kampanye pemilu misalnya logo, lagu atau jingle dan slogan yang digunakan oleh semua partai peserta pemilu.

Tahap berikutnya adalah legitimasi. Dalam kampanye politik, legitimasi diperoleh ketika seseorang telah masuk dalam daftar kandidat anggota legislatif, atau seorang kandidat presiden memperoleh dukungan yang kuat dalam polling yang dilakukan lembaga independen.

Tahap ketiga adalah partisipasi. Tahap ini dalam praktiknya relatif sulit dibedakan dengan tahap legitimasi karena ketika seorang kandidat, mendapatkan legitimasi, pada saat yang sama dukungan yang bersifat partisipatif mengalir dari khalayak. Partisipasi ini dapat bersifat nyata (real) atau simbolik. Partisipasi nyata ditunjukkan oleh keterlibatan orang-orang dalam menyebarkan pamflet, brosur atau poster, menghadiri demonstrasi yang diselenggarakan pasangan kandidat. Sedangkan simbolik dinyatakan dengan perbuatan menempelkan stiker atau gambar/poster pasangan kandidat.

Tahap keempat adalah tahapan penetrasi. Pada tahap ini seorang kandidat, sebuah produk atau sebuah gagasan telah hadir dan mendapat tempat di hati masyarakat. Seorang juru kampanye misalnya, telah berhasil menarik simpati masyarakat dan meyakinkan mereka bahwa ia adalah kandidat terbaik dari sekian yang ada.


Terakhir adalah tahap distribusi atau dapat disebut dengan tahap pembuktian. Pada tahap ini tujuan kampanye pada umumnya telah tercapai. Kandidat politik telah mendapatkan kekuasaan yang mereka cari. Tinggal bagaimana mereka membuktikan janji-janji mereka saat kampanye. Bila mereka gagal melakukan hal itu maka akibatnya akan fatal bagi kelangsungan jabatan atau gagasan yang telah diterima masyarakat.
Read more ►

Memahami PSC (Production Sharing Contract)

0 komentar

PSC adalah skema pengelolaan sumber daya minyak dan gas (migas) denganberpedoman kepada bagi hasil produksi, antara pemilik sumber daya dan investor. PSC dimulai tahun 1960-an terinspirasi dengan model pengelolaan bagi hasil di pertanian yang sudah turun temurun di Indonesia. Konon PSC tersebut juga menginspirasi negara-negara lain yang kemudian hari berkembang masing-masing.


Beberapa latar belakang PSC yaitu:

  1. Kegiatan migas membutuhkan dana yang besar (teknologi dan sumber daya) sehingga dibutuhkan investor selain pemerintah (Pertamina). Ambil contoh untuk drilling 1 well onshore rata-rata membutuhkan 5 juta USD, sedangkan offshore 50 juta USD (hanya drilling!).
  2. Ciri khas dari kegiatan migas adalah kegiatan eksplorasi yang belum tentu mendapat hasil temuan migas. Kegiatan analisa bawah tanah (sub-surface) yang tidak bisa dipastikan 100% akurasi nya.
  3. Lapangan eksploitasi menurun produksinya, biaya operasi semakin meningkat. Hal ini seperti halnya kendaraan dimana semakin tua maka semakin rumit maintenance dan meningkat biayanya.
  4. Banyak potensi migas di daerah Indonesia belum dilakukan eksplorasi dan eksploitasi (terutama di laut). Sehingga perlu untuk didorong investasi di migas untuk eksplorasi dan eksploitasi nya dengan skema kerjasama yang menarik (PSC).
  5. Migas menyumbang kurang lebih 40% pendapatan Negara. Sehingga perlu dibuat skema kerjasama yang tetap menjaga pendapatan pemerintah sebagai pemilik migas.

Istilah-istilah dasar yang harus dipahami dalam PSC adalah:

  • GOI (Government of Indonesia) ialah Pemerintah yang menjalankan amanat pengelolaan SDA yang secara operasional teknis dilakukan oleh BP Migas dalam bidang produksi hulu untuk minyak dan produksi hulu-hilir untuk gas(hilir minyak ditangani oleh BPH Migas).
  • Sedangkan Contractor ialah perusahaan migas yang melakukan kegiatan migas di Indonesia. Dikenal juga dengan KPS (Kontraktor Production Sharing), atau sekarang KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama).
  • Lifting Oil ialah Produksi Oil dalam Barel Oil Per Day/BOPD (1 Bbl=159 L). Sedangkan gas dalam satuan MMSCFD (million million standard cubic feet per day)
  • Split ialah bagi hasil antara GOI dan Con yakni 85% : 15% (Oil). Sedangkan untuk gas umumnya 65% : 35%.
  • FTP (First Tranche Petroleum) ialah bagian lifting yang disisihkan sejumlah tertentu (20%) untuk dibagi antara GOI dan Contractor.
  • Cost Recovery , ialah biaya investasi dan operasi produksi migas yang dikeluarkan Contractor dan dibayar GOI dalam mekanisma bagi hasil produksi (diperjelas dengan skema di bawah).
  • DMO (Domestic Market Obligation) ialah kewajiban kontraktor menjual minyak di Indonesia (25% dari jatah/entitlement Contractor), dengan harga DMO fee 15% harga ekspor atau 25% harga ekspor untuk kawasan timur Indonesia. DMO fee tersebut berlaku setelah produksilebih dari 60 bulan, jika kurang 60 bulan maka 100% harga pasar. Sedangkan untuk gas DMO sesuai dengan harga pasar.

Sebagai konsekuensi dari PSC, karena modal 100% dari investor dan lahan tetap menjadi milih negara, maka jika investor menemukan migas dalam ekspolarasinya maka seluruh biaya eksplorasi dan eksploitasi akan diganti oleh negara yang dikenal dengan cost recovery. Sebaliknya jika investor gagal menemukan migas, maka biaya menjadi tanggungan investor. Dalam detil kontrak PSC, batas investor melakukan eksplorasi adalah 10 tahun (3 tahun pertama, 3 tahun kedua, 4 tahun tambahan) yang diawasi oleh pemerintah. Selambatnya sampai batas 10 tahun tersebut tidak ada prospek migas, maka kontraktor harus mengembalikan wilayah kerja ke pemerintah.

Dan setelah dilakukan produksi (eksploitasi) migas, maka skema PSC untuk produksi oil adalah sebagai berikut (angka sebagai contoh):

Dengan skema diatas, dengan asumsi produksi 1000 BOPD dan Cost Recovery (CR) 30%,, maka total entitlement GOI 548 Bbl (55%) dan Con 452 Bbl (45%). Jika di awal disebutkan sharing GOI : Con = 85% : 15%, maka dalam skema diatas terlihat bahwa angka tersebut sangat jauh berbeda. Pun jika jeli mengamati, ternyata angka 15% adalah angka yang diterima bersih kontraktor karena dalam perhitungan split diatas sudah di-gross up tax 44% sehingga sharing contractor menjadi 26.7857% (bukan 15%!). Dan jika lebih jeli lagi, terlihat bahwa CR tidak terkena tax (sekalipun ada wacana CR akan dikenakan tax karena dianggap revenue contractor, opini penulis CR bukan revenue karena CR adalah pembayaran terhadap biaya investasi yang sudah dikeluarkan di muka).

Skema PSC diatas masih ada tambahan beberapa insentif khusus untuk merangsang ikliim investasi (yang artinya entitlement GOI berkurang), misalnya investment credit (credit yang diberikan GOI kepada Con yang tidak mempunyai dana dalam pembangunan fasilitas produksi, dimana terkena Tax 44%) dan interest holiday (bunga pinjaman untuk pembangunan fasilitas produksi yang dibebankan ke CR).

Dengan sedikit gambaran skema diatas, kita harus melihat secara fair bahwa PSC dibutuhkan di Indonesia untuk menjaga produksi migas dalam pemenuhan domestik dan ekspor. Resiko kegagalan, biaya besar dan keekonomian investasi bagaimanapun adalah hal yang harus ditanggung dan dipertimbangan investor. Sebuah trade-off yang dengan PSC diharapkan terciptaa win-win solution.

Namun dengan penjelasan skema diatas, menurut anda apakah PSC terbaik diterapkan di Indonesia?
Read more ►

Gagal di Dunia Kerja Bukan Akhir Segalanya, Raih Sukses dengan Berwirausaha

0 komentar
Merasa familiar dengan slogan ini Bosan jadi pegawai atau Bosan jadi orang gajian atau Bosan jadi karyawan atau banyak slogan-slogan lain yang senada Sebagian diantaranya adalah judul sebuah program televisi yang mengangkat tema tentang ke-wirausaha-an. Wirausaha menjadi kata yang populer akhir-akhir ini, ketatnya persaingan dunia kerja membuat banyak orang berpikir tentang wirausaha.

Tapi ternyata tidak hanya itu, bahkan bagi orang yang sudah mapan bekerja-pun wirausaha masih menjadi pilihan dalam hidup yang ingin diraih. Penyebabnya bisa karena terlalu padatnya jam kerja sehingga menciptakan kejenuhan dan kebosanan, atau impian untuk bisa bekerja dalam waktu yang fleksibel sehingga memberikan kesempatan berkumpul bersama keluarga lebih banyak atau ada juga yang memilih berwirausaha karena alasan ekonomisemata.

Apapun alasannya sah-sah saja bagi siapapun termasuk kita untuk berwirausaha. Memulai wirausaha bisa dibilang gampang-gampang susah, gampang bagi sebagian orang namun bisa sangat susah bagi sebagian orang yang lain. Ada sebuah ungkapan yang meski terdengar konyol namun ada benarnya juga, yakni jadilah bodoh untuk memulai wirausaha.

Ada benarnya karena semakin tinggi pendidikan dan pengetahuan seseorang, ia cenderung terlalu banyak pertimbangan ketika akan melakukan sesuatu termasuk memulai wirausaha sehingga seperti sangat kesulitan untuk memulai wirausaha, bahkan banyak yang akhirnya memutuskan tidak jadi ber wirausaha. Aneh tapi terasa familiar Begitulah, jika ingin memulai wirausaha jangan terlalu banyak pertimbangan dan perhitungan, karena wirausaha = action, Its all about action. Jadi apapun usaha yang kita pilih, berhasil atau tidaknya tergantung pada action yang kita ambil.

Kita boleh melakukan survey tentang jenis atau bidang-bidang wirausaha, tentang prospeknya, tentang persaingannya ataupun tentang apa saja yang berkaitan dengan bidang wirausaha yang ingin kita geluti. Tapi intinya kita harus mengambil tindakan, take action. Kita tidak bisa terus-menerus hanya melakukan survey, mencari informasi dan seterusnya. Pada akhirnya kita harus bertindak, action. Batasi diri kita dalam melakukan survey, misalnya 1 bulan. Setelah itu kita harus mulai action karena wirausaha = action. Sekali lagi its all about action.

Setelah berhasil memulai wirausaha (selamat karena kita telah melampaui fase yang paling sulit), kita membutuhkan ilmu dan pengetahuan untuk menjalankan dan mengembangkan usaha kita. Kita bisa belajar dari orang orang yang telah berhasil maupun dari mereka yang gagal agar kita bisa menghindari kegagalan. Jadi jadilah (seolah) bodoh untuk memulai wirausaha, dan jadilah pandai untuk menjalankan dan mengembangkan usaha. Belajar dan meng-upgrade kemampuan dan pengetahuan harus kita lakukan seiring proses usaha kita. Orang bijak mengatakan bahwa cara belajar yang paling baik adalah dengan mengerjakannya, learning by doing.


Jadi selamat berwirausaha dan semoga sukses, lakukan sebuah aksi lalu follow up atau tindak lanjuti dengan learning by doing. (bn/dari berbagai sumber)
Read more ►
 

Copyright © Jamal Saripudin Design by Jamal Saripudin | Powered by Blogger