Selasa, 10 November 2015

Garam Rakyat Sulit Diserap Industri?



Rencana kebijakan pemerintah untuk melakukan moratorium impor garam dikeluhkan  para pelaku industri berbahan baku garam. Jika dilihat memang niatan pemerintah melalui kebijakan tersebut adalah untuk mewujudkan swasembada garam nasional. Namun, kebijakan tersebut dinilai para pelaku usaha akan melemahkan daya saing industri berbahan baku garam dalam negeri. Selain karena pasokannya yang tidak stabil, para pelaku usaha juga mengeluhkan kualitas garam lokal yang rendah, benarkah demikian?

Kebutuhan garam nasional tahun 2015 diperkirakan sekitar 3,6 juta ton, dimana konsumsi rumah tangga  sekitar 650 ribu ton. Sementara itu sektor industri yang paling banyak menggunakan garam sebagai bahan baku proses produksinya, dengan pembagian 450 ribu ton untuk industri aneka pangan, 1,7 juta ton untuk industri kimia, 200 ribu ton untuk pengeboran minyak, 470 ribu ton untuk pakan ternak dan pengasinan ikan, industri lain 230 ribu ton dan . Sementara itu, luas lahan garam yang tersedia secara nasional sekitar 25 ribu ha dengan produksi rata-rata pertahun hanya sebesar 1,7 juta ton.  Sedangkan untuk  kekurangan supply garam (terutama untuk industri) tersebut dipenuhi dengan impor. (Kementerian Perindustrian: 2015)

Kondisi Garam Rakyat

Mutu garam rendah menjadi pertimbangan utama industri tidak menggunakan garam rakyat sebagai bahan baku proses produksi. Pasalnya, jika dipaksanakan akan menyebabkan hal-hal seperti; kerusakan mesin atau peralatan produksi, dan berkurangnya kualitas produk. Sementara garam rakyat tidak memenuhi standar nasional garam industri. Kualitas produk garam rakyat tidak seragam dengan kandungan zat pencemaran yang tinggi. Sehingga untuk peningkatan kualitas atau pemurnian kristal garam melalui pencucian menyebabkan naiknya biaya, oleh karena itu garam rakyat cenderung dijual dengan kualitas seadanya.

Produksi garam rakyat yang rendah hanya sekitar 60 s.d 80 ton/ha/musim juga disebabkan luas lahan per pengelola rendah. Pola usaha garam rakyat yang individual dan cenderung subsisten, selain itu fragmentasi kepemilikan lahan garam yang terlalu kecil (rata-rata hanya 0,75 ha/orang). Selain itu keterbatasan teknologi menjadi kendala rendahnya produktivitas garam rakyat.

Selama ini para pelaku industri lebih mengandalkan suplai garam impor, hal tersebut disebabkan garam impor memiliki spesifikasi yang baik dan memenuhi standar garam industri (SNI). Garam impor memiliki spesifikasi standar garam industri (rata-rata kandungan NaCl diatas 96%). Sementara, kondisi garam rakyat kualitasnya masih dibawah standar, dimana kandungan atau kadar NaCl dikisaran 88-92,5 %, dan kadar Mg 0,63- 0,92%. Selain itu, keberlangsungan suplai juga terjamin dan harga garam impor sangat kompetitif.

Harga garam impor juga tergolong murah berkisar sekitar US$ 38 - US$ 40/mt ( Kurs Rp. 13 ribuan) atau sekitar Rp. 500/kg (sudah sampai di pelabuhan Indonesia). Sedangkan garam rakyat harganya Rp. 750/kg FOB di tempat petambak. Selain harga tinggi dan kualitas rendah, jumlah produksi garam rakyat juga dianggap belum cukup memenuhi kebutuhan industri. Tidak terjaminnya keberlangsungan suplai sepanjang tahun dikarenakan kondisi iklim yang kurang mendukung proses pembuatan garam. Musim panas di Indonesia relatif pendek yaitu 4 s.d 5 bulan pertahun, dengan kelembapan udara cukup tinggi di kisaran 60-70%. Sedangkan di Negara-Negara penghasil garam impor seperti, Australia, Mexico atau China, memiliki musim panas sampai 11 bulan pertahun dengan humiditas 20-30%.

Industrialiasi Garam

Untuk menyelesaikan permasalahan garam nasional, pemerintah seharunya mendorong kearah industrialisasi garam. Di mana-mana swasembada garam (terutama garam industry) itu dapat terpenuhi oleh korporasi, bukan rakyat. Disamping itu pemerintah juga perlu melakukan pembenahan administrasi niaga garam, dan pembentukan lembaga independen.

Pembentukan tata kelola niaga yang baik secara otomatis akan membentuk frame hukum yang pro-rakyat. Jika selama ini industri garam diatur oleh tiga lembaga negara (Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan), maka kedepannya perlu dibuat sebuah lembaga independen yang secara khusus mengatur industri garam nasional, seperti Salt Commissioner di India. Adanya banyak campur tangan menunjukkan akan adanya banyak pihak yang berkepentingan dengan bisnis ini.

Hal teknis yang diperlukan untuk meningkatkan produksi garam adalah dengan memperbaiki sistem industri baik itu on-farm maupun off-farm. On-farm adalah memaksimalkan produksi lahan pertanian garam. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: memilih tempat industri dengan memperhatikan iklim, letak geografis, suhu udara rerata, intensitas sinar matahari, dan kelembaban, penerapan teknologi yang tepat guna untuk meningkatkan efisiensi lahan garam yang sudah ada, misalnya dengan alat berat, dan upaya perluasan lahan garam. Perluasan lahan garam dapat dilakukan dengan proporsi yang sewajarnya dan dikombinasi dengan metode off-farm, yaitu pembuatan garam dengan teknologi modern tanpa harus menggunakan lahan yang luas.

Dengan tata kelola niaga, didukung oleh rekonstruksi sistem baik on-farm maupun off-farm, birokrasi yang mudah, perlindungan hukum yang pro-rakyat, dan juga melibatkan masyarakat petani garam secara keseluruhan dari hulu hingga hilir maka negara Indonesia akan mampu mencapai swasembada garam.  Dan tidak mustahil untuk menjadi pemasok utama garam di pasar global. (*)

1 komentar:

  1. sepakat.
    mindset pemerintah harus diubah dari impor oriented menjadi swasembada oriented.

    BalasHapus

 

Copyright © Jamal Saripudin Design by Jamal Saripudin | Powered by Blogger