Rencana kebijakan pemerintah
untuk melakukan moratorium impor garam dikeluhkan para pelaku industri berbahan baku garam.
Jika dilihat memang niatan pemerintah melalui kebijakan tersebut adalah untuk
mewujudkan swasembada garam nasional. Namun, kebijakan tersebut dinilai para
pelaku usaha akan melemahkan daya saing industri berbahan baku garam dalam
negeri. Selain karena pasokannya yang tidak stabil, para pelaku usaha juga
mengeluhkan kualitas garam lokal yang rendah, benarkah demikian?
Kebutuhan garam nasional tahun
2015 diperkirakan sekitar 3,6 juta ton, dimana konsumsi rumah tangga sekitar 650 ribu ton. Sementara itu sektor
industri yang paling banyak menggunakan garam sebagai bahan baku proses produksinya,
dengan pembagian 450 ribu ton untuk industri aneka pangan, 1,7 juta ton untuk
industri kimia, 200 ribu ton untuk pengeboran minyak, 470 ribu ton untuk pakan
ternak dan pengasinan ikan, industri lain 230 ribu ton dan . Sementara itu,
luas lahan garam yang tersedia secara nasional sekitar 25 ribu ha dengan
produksi rata-rata pertahun hanya sebesar 1,7 juta ton. Sedangkan untuk kekurangan supply garam (terutama untuk
industri) tersebut dipenuhi dengan impor. (Kementerian Perindustrian: 2015)
Kondisi Garam Rakyat
Mutu garam rendah menjadi
pertimbangan utama industri tidak menggunakan garam rakyat sebagai bahan baku
proses produksi. Pasalnya, jika dipaksanakan akan menyebabkan hal-hal seperti;
kerusakan mesin atau peralatan produksi, dan berkurangnya kualitas produk.
Sementara garam rakyat tidak memenuhi standar nasional garam industri. Kualitas
produk garam rakyat tidak seragam dengan kandungan zat pencemaran yang tinggi.
Sehingga untuk peningkatan kualitas atau pemurnian kristal garam melalui
pencucian menyebabkan naiknya biaya, oleh karena itu garam rakyat cenderung
dijual dengan kualitas seadanya.
Produksi garam rakyat yang rendah
hanya sekitar 60 s.d 80 ton/ha/musim juga disebabkan luas lahan per pengelola
rendah. Pola usaha garam rakyat yang individual dan cenderung subsisten, selain
itu fragmentasi kepemilikan lahan garam yang terlalu kecil (rata-rata hanya
0,75 ha/orang). Selain itu keterbatasan teknologi menjadi kendala rendahnya
produktivitas garam rakyat.
Selama ini para pelaku industri
lebih mengandalkan suplai garam impor, hal tersebut disebabkan garam impor
memiliki spesifikasi yang baik dan memenuhi standar garam industri (SNI). Garam
impor memiliki spesifikasi standar garam industri (rata-rata kandungan NaCl
diatas 96%). Sementara, kondisi garam rakyat kualitasnya masih dibawah standar,
dimana kandungan atau kadar NaCl dikisaran 88-92,5 %, dan kadar Mg 0,63- 0,92%.
Selain itu, keberlangsungan suplai juga terjamin dan harga garam impor sangat
kompetitif.
Harga garam impor juga tergolong
murah berkisar sekitar US$ 38 - US$ 40/mt ( Kurs Rp. 13 ribuan) atau sekitar
Rp. 500/kg (sudah sampai di pelabuhan Indonesia). Sedangkan garam rakyat
harganya Rp. 750/kg FOB di tempat petambak. Selain harga tinggi dan kualitas
rendah, jumlah produksi garam rakyat juga dianggap belum cukup memenuhi
kebutuhan industri. Tidak terjaminnya keberlangsungan suplai sepanjang tahun
dikarenakan kondisi iklim yang kurang mendukung proses pembuatan garam. Musim
panas di Indonesia relatif pendek yaitu 4 s.d 5 bulan pertahun, dengan
kelembapan udara cukup tinggi di kisaran 60-70%. Sedangkan di Negara-Negara
penghasil garam impor seperti, Australia, Mexico atau China, memiliki musim
panas sampai 11 bulan pertahun dengan humiditas 20-30%.
Industrialiasi Garam
Untuk menyelesaikan permasalahan
garam nasional, pemerintah seharunya mendorong kearah industrialisasi garam. Di
mana-mana swasembada garam (terutama garam industry) itu dapat terpenuhi oleh
korporasi, bukan rakyat. Disamping itu pemerintah juga perlu melakukan
pembenahan administrasi niaga garam, dan pembentukan lembaga independen.
Pembentukan tata kelola niaga
yang baik secara otomatis akan membentuk frame hukum yang pro-rakyat. Jika
selama ini industri garam diatur oleh tiga lembaga negara (Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan), maka
kedepannya perlu dibuat sebuah lembaga independen yang secara khusus mengatur
industri garam nasional, seperti Salt Commissioner di India. Adanya banyak
campur tangan menunjukkan akan adanya banyak pihak yang berkepentingan dengan
bisnis ini.
Hal teknis yang diperlukan untuk
meningkatkan produksi garam adalah dengan memperbaiki sistem industri baik itu
on-farm maupun off-farm. On-farm adalah memaksimalkan produksi lahan pertanian
garam. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: memilih tempat
industri dengan memperhatikan iklim, letak geografis, suhu udara rerata,
intensitas sinar matahari, dan kelembaban, penerapan teknologi yang tepat guna
untuk meningkatkan efisiensi lahan garam yang sudah ada, misalnya dengan alat
berat, dan upaya perluasan lahan garam. Perluasan lahan garam dapat dilakukan
dengan proporsi yang sewajarnya dan dikombinasi dengan metode off-farm, yaitu
pembuatan garam dengan teknologi modern tanpa harus menggunakan lahan yang luas.
Dengan tata kelola niaga,
didukung oleh rekonstruksi sistem baik on-farm maupun off-farm, birokrasi yang
mudah, perlindungan hukum yang pro-rakyat, dan juga melibatkan masyarakat
petani garam secara keseluruhan dari hulu hingga hilir maka negara Indonesia
akan mampu mencapai swasembada garam.
Dan tidak mustahil untuk menjadi pemasok utama garam di pasar global.
(*)
sepakat.
BalasHapusmindset pemerintah harus diubah dari impor oriented menjadi swasembada oriented.