Kamis, 29 Oktober 2015

Kendala Produksi Garam Rakyat

3 komentar

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah lebih kurang 17.500 pulau dan luas laut sekitar 5,8 juta km2. Dengan kata lain wilayah Indonesia didominasi oleh lautan atau tiga per empat wilayahnya merupakan lautan dan sisanya adalah daratan secara otomatis Indonesia pun dianugerahi garis pantai yang sangat panjang, tercatat Indonesia memiliki panjang garis pantai sekitar 81.000 km yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.

Terdiri dari gugusan kepulauan yang terbentang sepanjang garis Khatulistiwa, memiliki wilayah lautan luas dan garis pantai yang sangat panjang merupakan merupakan anugerah tak terhingga dari Tuhan yang diberikan kepada bangsa ini. Sehingga banyak pihak yang menganggap bahwa bangsa ini dapat mencukupi segala kebutuhannya sendiri.

Berkaitan dengan wilayah laut yang luas dan garis pantai yang sangat panjang banyak pihak pula yang menilai bahwa bangsa Indonesia mampu mencukupi kebutuhan garam dalam negeri sendiri (swasembada garam). Sehingga pemerintah pun melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan kebijakan moratorium impor garam dalam rangka memproteksi para petambak garam lokal.

Setiap kebijakan pastinya akan menuai pro dan kontra dari berbagai stakeholder, baik masyarakat, industri/pengusaha, petambak/produsen garam lokal dan pemerintah sendiri.
Untuk itu mari kita telaah kembali apakah kebijakan tersebut tepat untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri ataukah sebaliknya kebijakan justru menjadi back firing effect bagi kepentingan yang lebih luas.   

Bukan Jaminan

Memiliki garis pantai terpanjang di dunia bukan jaminan petambak garam bisa memproduksi garam dengan kuantitas dan kualitas tinggi. Indonesia hanya 60-80 ton/Ha. Sementara itu di Australia bisa menghasilkan garam 350 ton/hektar. Kemudian muncul pertanyaan "mengapa produktivitas garam rakyat rendah?"

Banyak kendala garam rakyat masih sulit dikembangkan di Indonesia. Pertama, Indonesia memiliki humiditas (kelembapan udara) yang cukup tinggi yaitu di kisaran 60-70. Sementara itu, di Australia kelembaban udara sekitar 20-30%.

Kedua, Indonesia mengalami musim kemarau yang relatif pendek yaitu berkisar 4 s.d 5 bulan pertahun. Meskipun di Indonesia bagian Timur musim kemarau dapat mencapai 7 s.d 8 bulan pertahun,  Namun wilayah tersebut produktivitas garam belum digarap dengan optimal.

Ketiga, Kepemilikan lahan tambak garam yang terlalu kecil. Rata-rata hanya 0,5 sampai dengan 5 hektar per petambak, dengan penataan petak pemurnihan dan petak kristalisasi yang tidak memenuhi persyaratan. Selain itu pola produksi petambak garam lokal yang masih individual dan cenderung tidak terintegrasi.

Di dalam pembuatan garam masyarakat petambak garam menggunakan cara yang sangat sederhana yaitu menguapkan air laut di dalam petak penggaraman dengan tenaga sinar matahari tanpa sentuhan teknologi apapun, sehingga walaupun bahan baku melimpah namun salinitas dan polutan yang terlarut sangat beragam.

Meningkatkan Daya Saing Industri

Saat ini pemasok garam nasional adalah PT Garam dan  Petambak garam tradisional dengan jumlah produksi 1.200.000 ton pertahun. Sementara itu permintaan garam nasional terbagi menjadi dua yakni garam konsumsi sebesar 933.000 ton pertahun dan garam industri 2.637.100 ton pertahun. Dengan demikian kebutuhan garam dalam negeri masih defisit sekitar 1.437.100 ton pertahun.

Dengan kondisi alam dan sarana produksi yang tidak semewah Australia, hampir sulit untuk meningkatkan produktivitas garam lokal setara garam impor.

Produksi garam lokal rata-rata  hanya sebesar 1,7 juta ton pertahun. Sementara berdasarkan kebutuhan garam nasional tahun 2015 diperkirakan sekitar 3,6 juta ton. Kualitas garam rakyat juga masih rendah, sehingga belum dapat digunakan untuk bahan baku industri (kandungan NaCl untuk industri Min 97%).

Hasil produksi garam petambak tradisional berbentuk kristal kecil dan rapuh. Hal tersebut dikarenakan pada proses pelepasan air tua yang belum saatnya serta waktu pemanenan yang terlalu pendek yakni berkisar 3 s.d 5 hari. Dengan warna yang buram serta kualitasnya pun masih dibawah standar, dimana kandungan atau kadar NaCl 88-92,5 % , dan kadar Mg 0,63- 0,92 %. Secara garis besar garam produksi petani tradisional hanya memenuhi spesifikasi konsumsi rumah tangga, namun belum memenuhi spek/kriteria yang dibutuhkan oleh industri.

Industri yang menggunakan garam sebagai bahan baku seperti plastik, deterjen, dsb akan kesulitan untuk berdaya saing bila dipaksakan untuk menggunakan garam produk petani lokal, selain karena spesifikasi yang tidak memenuhi kriteria industri juga secara kuantitas supply-nya masih sangat kurang.

Namun bukan tidak mungkin Indonesia ke depan mampu untuk swasembada garam industri. Sentra garam di pantai-pantai Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat potensial untuk dikembangkan. Itupun butuh waktu panjang dan investasi besar merealisasikannya. Berdasarkan data KKP, di NTT terdapat 97 unit sentra produksi garam rakyat dengan 3.500 tenaga kerja. Lokasi potensial untuk tambak tersebut antara lain di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Rote Ndao, Ende, Ngada dan Kabupaten Sumba Barat. Pada tahun 2010, Menteri KKP Fadel Muhammad pernah membuka 8.953,25 Ha lahan di NTT. Dari total lahan itu, yang tergarap baru 151 ha. Permasalahan yang dihadapi sangat rumit, mulai dari modal, sosial-budaya (orang NTT tidak mau jadi petambak garam), keahlian tenaga kerja, sarana dan prasarana.

Sinergis Kebijakan

Kebijakan Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan soal garam haruslah sinergis serta mewadahi seluruh stakeholder yang ada, baik masyarakat, petambak, dan industri. Jangan sampai kebijakan memproteksi petambak tradisional malah menjadi back firing bagi pemerintah sendiri dikarenakan industri dalam negeri yang kalah bersaing di kancah global.

Selama produksi garam dalam negeri belum dapat mencapai target serta kualitas yang dibutuhkan industri. Pemerintah masih bisa memproteksi petambak garam tradisional dengan mengeluarkan regulasi yang ketat dimana garam produksi dalam negeri haruslah didistribusikan dan dikonsumsi khusus untuk rumah tangga, sementara garam impor dengan spesifikasi tertentu dikhususkan untuk industri.  


Selain itu dukungan penuh pemerintah baik melalui bantuan permodalan dan juga transfer teknologi harus terus dilaksanakan agar produktivitas serta kualitas garam lokal semakin meningkat. (*)
Read more ►

Ternyata Garam Tidak Hanya Untuk Konsumsi Rumah Tangga

0 komentar

Garam yang dalam istilah kimianya dikenal dengan nama Natrium Chlorida (NaCl) merupakan benda yang tidak asing dalam kehidupan manusia. Boleh jadi setiap kita mendengar kata garam maka pikiran kita langsung tertuju pada bumbu dapur yang wajib selalu ada di dapur sebagai kelengkapan bahan memasak. Ternyata kegunaan garam tidaklah 100 persen hanya dimonopoli oleh dapur saja, namun garam juga memiliki peran penting sebagai bahan baku berbagai jenis industri.    

Berdasarkan jenisnya garam dibagi ke dalam dua kelompok besar, yakni garam konsumsi dan garam industri. Garam konsumsi adalah garam yang digunakan/dapat diolah menjadi garam rumah tangga dan garam diet beryodium untuk dikonsumsi masyarakat. Sedangkan, garam industri biasanya digunakan sebagai bahan baku utama dan bahan penolong dalam proses produksi industri.

Garam juga merupakan salah satu bahan baku untuk industri kimia-dalam hal ini industri Chlor-Alkali Plant (CAP), industri aneka pangan, industri farmasi, industri perminyakan, industri penyamakan kulit, dan water treatment. Produk apa saja yang dihasilkan industri berbahan baku garam? Contoh untuk industri CAP telah menghasilkan banyak produk seperti; Hidrogen, Klorin, dan Soda Kaustik (NaOH).

Jenis Soda Kaustik nantinya akan menghasil produk seperti tekstil, sabun, pulp dan kertas, alumina, MSG-bumbu penyedap, bahan pembalut/Popok (SAP), pupuk, aneka barang plastik dan berbagai produk industri lainnya. Sementara untuk jenis Klorin, berguna untuk pembuatan Pipa PVC, kabel, packaging, kulit-imitasi, untuk otomotif, industri pintu-jendela PVC, sol sepatu, tempat minum dan industri lainnya. 
Begitu banyak industri-industri yang bergantung pada produk CAP (berbahan baku garam). Hampir sebagian besar (80%) produk CAP untuk menunjang lebih dari 500 Industri Nasional, dan untuk menunjang pasar Ekspor (20%).

Dalam industri pangan misalnya, garam digunakan sebagai bubuhan penyedap, bahan pengawet (pencegah mikroorganisme), bahan pengikat (meningkatkan kekompakan daging; mengurangi kehilangan air; pada pemasakan; menaikan kelarutan protein otot dalam air; menstabilkan emulsi pada pembuatan sosis dsb. Garam juga merupakan promotor pengembangan warna dalam daging olahan, kulit roti, ham, bacon, hotdog dsb. Juga bisa menjadi penguat tekstur agar adonan roti tidak mudah sobek/rusak waktu mengembang; melembutkan daging yang diasap; menghaluskan dan mengencangkan tekstur daging olahan; meningkatkan konsistensi keju dan mengeraskan kulitnya dsb. Selain itu garam juga sebagai pengendali fermentasi yang dapat menghambat aktivitas ragi dan mencegah fermentasi liar sehingga meningkatkan keseragaman warna, aroma dan tekstur aneka roti, keju dll

Garam juga sangat berperan bagi industri farmasi dan pengobatan, yaitu sebagai bahan baku pembuatan zat penguat tubuh dan pengganti kekurangan elektrolit; digunakan dalam bentuk tablet dan larutan infus. 

Sebagai gambaran, berdasarkan kebutuhan garam nasional tahun 2015 diperkirakan sekitar 3,6 juta ton, dimana sektor industri yang paling banyak menggunakan garam sebagai bahan baku proses produksinya. Dengan pembagian 450.000 ton untuk industri aneka pangan, 1,7 juta ton untuk industri kimia, 200.000 ton untuk pengeboran minyak, 470.000 ton untuk pakan ternak dan pengasinan ikan, industri lain 230.000 ton dan konsumsi rumah tangga 650.000 ton. Sementara itu, luas lahan garam yang tersedia secara nasional sekitar 25.000 ha dengan produksi rata-rata pertahun hanya sebesar 1,7 juta ton. Tentunya bagi kebutuhan industri sebagian besar masih mengandalkan garam impor yang memerlukan kualitas khusus.

Selain rendahnya produktivitas garam dalam negeri, Kualitas garam yang dibutuhkan oleh industri tidak memenuhi spesifikasi. Garam untuk kebutuhan industri tidak hanya terbatas pada kandungan NaCl yang tinggi, akan tetapi masih ada kandungan logam berat lainnya yang harus diperhatikan. Industri aneka pangan misalnya minimal kadar NaCL 97%, kalsium dan magnesium maksimal 600 ppm. Industri kimia minimal NaCL 96%, farmasi kebutuhan NaCL minimal 99,9%, sementara garam konsumsi rumah tangga minimal NaCL 94%. Selanjutnya, berdasarkan penggunaan garam tersebut, nilai ekspor industri aneka pangan setiap tahun mencapai US$5,6 miliar. Kemudian industri kimia seperti petrokimia hulu, kostik soda, bahan media diapers, tekstil, bubur kertas dan kertas, produk plastik hilir PVC mencapai US$22,6 miliar.

Banyak faktor yang membuat garam produksi dalam negeri belum dapat digunakan untuk industri aneka pangan, kimia maupun farmasi. Faktor utama karena kualitas yang masih rendah. Selain itu, pola panen yang mengikuti cuaca tidak dapat menjaga kestabilan harga, karena ketika panen raya tiba terjadi pasokan yang berlebih sementara serapan garam stabil. 

Di lain sisi impor garam memang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan garam karena produksi garam nasional hanya 1,7 juta ton per tahun, sedangkan tingkat kebutuhan baik untuk konsumsi maupun industri mencapai 3,6 juta ton per tahun. Dengan demikian terdapat kekurangan supply garam sebesar 1,9 juta ton pertahun. Untuk itu kebijakan pemerintah yang paling realistis adalah melakukan impor sambil terus menyiapkan sistem produksi garam yang modern dan berdaya saing. (*)
Read more ►
 

Copyright © Jamal Saripudin Design by Jamal Saripudin | Powered by Blogger